Ben Evans, pakar hewan dari McMaster University di Hamilton dan ilmuwan
Indonesia menemukan 13 spesies katak bertaring di Sulawesi. Sejumlah 9
dari 13 spesies itu belum pernah ditemukan sebelumnya. Penemuan ini
dilaporkan dalam jurnal The American Naturalist bulan ini.
Katak ini meletakkan telur di
dedaunan dan bukan di air, lalu menungguinya. Jenis ini adalah salah
satu dari 9 spesies katak yang belu dikenal dunia ilmu pengetahuan
sebelumnya.
Katak bertaring termasuk dalam genus Limnocetes, disebut bertaring
karena memiliki tonjolan tulang di rahang bawah. Taring yang dimaksud
bukan berarti gigi taring yang sebenarnya, sebab tak memiliki akar gigi
atau ciri-ciri gigi lainnya.
Dalam papernya, Evans menulis, seluruh spesies katak bertaring yang
ditemukan memiliki variasi adaptasi yang berbeda, sesuai kondisi
lingkungan dan iklim mikro masing-masing, mulai dari yang terbasah
hingga terkering dan dengan beragam vegetasi yang ada.
Beberapa spesies punya kaki berselaput tebal untuk beradaptasi dengan
arus sungai yang deras. Sementara yang lain berselaput tipis, sesuai
dengan lingkungan darat. Yang Unik, ada katak yang melakukan fertilisasi internal, meletakkan telurnya jauh dari air dan mengawasinya.
Katak bertaring dari genus Limnonectes, memiliki tonjolan tulang Unik di rahangnya. Para peneliti tidak yakin apa kegunaannya, namun diduga untuk mempertahankan diri atau mencari makan.
"Penemuan ini menjadi contoh bagus bagaimana spesies pada akhirnya
menggunakan taktik yang sama untuk survive dan melakukan diversifikasi
ketika diberi kesempatan," kata Evans seperti dikutip CBCnews, Jumat
(12/8/2011).
Evans mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian, tak ada genus katak
lain di Sulawesi yang bisa berkompetisi dengan genus katak bertaring.
Ini menjadi bukti bahwa katak bertaring berevolusi untuk mengisi
kekosongan relung kehidupan yang ada di Sulawesi.
Sampai saat ini, ilmuwan belum mengetahui manfaat taring pada katak
genus ini. Beberapa kemungkinan adalah sebagai senjata melawan pejantan
lain untuk mempertahankan wilayah, menangkap mangsa seperti ikan dan
serangga serta sebagai senjata melawan predator.
Untuk menemukan katak ini, Evans dan timnya harus melakukan ekspedisi di
sepanjang sungai dan hutan dengan resiko gigitan ular berbisa.
Hasilnya, ada 683 ekor katak yang berhasil ditangkap. Peta distribusi
katak lalu dibuat, sekaligus perbandingan ciri katak dengan
lingkungannya.
Salah satu bentuk adaptasi hidup di
aliran sungai yang deras adalah ukuran tubuh yang besar. Beberapa
spesies katak bertaring tumbuh hingga sepanjang 13 cm.
Saat ekspedisi, Evans berusaha menangkap katak di hutan yang belum
tersentuh illegal logging. Namun, ia mengatakan, "Ada banyak hutan
dimana kami mengambil sampel yang kemudian hilang ketika kami
mengunjunginya beberapa tahun kemudian."
Sejauh ini, Evans mengatakan belum ada dari spesies yang ditemukan
punah. Tapi ia mempercayai, distribusi katak-katak tersebut telah
berkurang. Perlu usaha pelestarian lingkungan untuk menjaga katak-katak
ini tetap eksis.
Sumber: http://sains.kompas.com
No comments:
Post a Comment